Rabu, 17 Desember 2008

Ranggawarsita


Beberapa waktu yang lalu saya telah memuat artikel seputar Ki Ranggawarsita, nah sekarang saya akan tampilkan foto beliau. Artikelnya silahkan dibuka pada arsip blog. Terima kasih.

Senin, 15 Desember 2008

Mengajar Belajar

Jakarta (Kompas: 27/11/06) Biasanya jika seorang guru mendapat pertanyaan mengajar apa di sekolah, jawaban yang umum adalah mengajar bahasa, mengajar matematika, mengajar kesenian, atau mengajar bidang studi yang lain. Akan terdengar aneh sekali bila jawaban yang diberikan adalah ’mengajar belajar’.

Mengajar secara umum adalah menyampaikan informasi dan memindahkan pengetahuan dari pengajar (guru) kepada pelajar (siswa). Di dalamnya ada proses agar siswa yang tadinya tidak mengerti jadi mengerti, yang tidak paham menjadi paham. Inilah yang pada umumnya masih dilakukan para guru di sekolah sampai saat ini meskipun sebenarnya tugas seorang guru tidak semata mengajar, tetapi sekaligus mendidik. Namun, tuntutan ’pasar’ menjadikan porsi mengajarnya lebih mendominasi bidang tugasnya.
Ini bisa dimengerti mengingat tuntutan masyarakat sebagai konsumen agar sekolah mencetak siswa-siswa yang ’pandai’ begitu besar. Jadi, mau tak mau aspek mengajar itu yang kemudian lebih mengemuka. Dewasa ini memang terlihat adanya fenomena bahwa prestasi seseorang yang paling dihargai adalah prestasi akademiknya. Prestasi akademik ditempatkan di atas segalanya. Buku rapor atau ijazah yang dihiasi angka-angka tinggi menjadi kebanggaan dan sangat didewa-dewakan siswa, terlebih orangtua.
Seolah-olah dengan semua itu masa depan seseorang sudah pasti terjamin. Itu sebabnya, sebagai lembaga pendidikan, sekolah yang mestinya membekali siswa dengan rupa-rupa kecakapan hidup (life skill) guna menghadapi masa depan dengan permasalahannya yang sangat kompleks berubah menjadi lembaga yang (hanya) bertugas mencetak anak-anak pandai.
Memenuhi tuntutan mencetak anak-anak pandai tentu bukan pekerjaan gampang, mengingat seorang anak bisa menjadi pandai atau tidak sangat bergantung pada banyak faktor. Sebut saja guru, orangtua, lingkungan, dan—yang tak kalah penting—si anak itu sendiri. Di samping itu, sering kali kriteria yang dipergunakan orangtua (baca: masyarakat) untuk menentukan seorang anak pandai atau tidak juga sangat ’sederhana’. Asal anak dapat lulus ujian (baca: UN) sudah dapat dikategorikan ’pandai’, tak begitu memedulikan berapa nilai yang diperolehnya.
Barangkali itu sebabnya setelah perhelatan ujian atau UN usai, sering terdengar seorang guru menjadi stres karena hasil ujian siswanya jeblok, atau persentase kelulusan siswanya rendah. Boleh jadi mereka ngeri membayangkan predikat ’tidak bisa mengajar’ yang diterakan kepadanya. Itulah sebabnya ujian sekolah—terlebih UN—menjadi beban berat bagi guru. Untuk mengatasi semua itu, guru/sekolah menempuh berbagai cara dan kiat untuk mendongkrak perolehan nilai siswa. Yang paling populer adalah mengedril siswa dengan kumpulan soal-soal ujian. Sudah bukan rahasia lagi kalau menjelang pelaksanaan UN memang kegiatan belajar di banyak sekolah dilaksanakan dengan sistem dril.
Tidak ada lagi apa yang disebut pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, efektif, apalagi inovatif. Seluruh sumber daya sekolah seolah dipersiapkan dan diarahkan untuk menghadapi UN. Pembelajaran difokuskan sepenuhnya untuk meraih persentase lulusan yang tinggi, bahkan kalau mungkin dengan rata-rata nilai yang tinggi pula. Tidak berarti guru tidak mengetahui kelemahan sistem dril, tetapi cara ini tetap dipertahankan semata agar dapat bersaing dengan sekolah lain, terutama dalam UN.

Pembelajaran intimidatif
Dengan diberlakukannya Kurikulum 2006, juga dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (baca: kurikulum sekolah), guru diberi kebebasan mendesain pembelajaran sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Oleh karena itu, sudah bukan saatnya lagi guru memaksakan pengetahuan kepada siswa. Model pembelajaran seperti itu menempatkan siswa hanya sebagai obyek. Siswa tidak dihargai sebagai individu yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan untuk mengembangkan potensinya, baik potensi intelektual maupun kepribadiannya.
Sudah saatnya guru meninggalkan model pembelajaran yang menggunakan cara-cara instan. Model pembelajaran dengan sistem dril, yang mengharapkan hasil bagus dengan cepat tanpa mengindahkan prosedur pembelajaran yang semestinya, sesungguhnya bersifat intimidatif. Bagaimana tidak meng-’intimidasi’ bila siswa senantiasa dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’nilai tertentu’ yang menjadi standar kelulusan atau kenaikan kelas? Akibatnya, siswa mengikuti pembelajaran di bawah bayang-bayang ancaman dan ketakutan ’tidak naik kelas atau tidak lulus ujian’ jika tidak dapat menyerap atau menguasai materi pelajaran (lebih tepatnya: menghafal), yang akan dibuktikan dengan ulangan/tes/ujian.
Pembelajaran partisipatif
Apabila dengan pembelajaran intimidatif tadi siswa merasa terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran, sudah saatnya guru memikirkan dan menerapkan model pembelajaran lain yang lebih memahami kondisi siswa. Salah satu alternatifnya adalah model pembelajaran yang bersifat partisipatif. Di sini siswa dilibatkan dan diikutsertakan dalam menentukan dan mencari bahan/materi (dari berbagai sumber) yang akan dipelajari.
Pendapat siswa mengenai metode dan cara bagaimana yang dapat mempermudah siswa menguasai materi pelajaran juga perlu didengar oleh guru. Begitu pun dalam evaluasinya, siswa diajak ikut serta menentukan apakah tujuan mempelajari suatu materi telah tercapai serta langkah apa yang akan dilakukan untuk lebih memantapkan penguasaan pengetahuan siswa. Intinya, dalam pembelajaran ini siswa benar-benar ditempatkan sebagai subyek yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan serta arahan. Guru tidak boleh dan tidak bisa memaksakan kehendaknya menjejali siswa dengan rupa-rupa materi, layaknya botol kosong yang mesti diisi sampai penuh.
Dengan menerapkan model pembelajaran partisipatif, siswa akan merasa diperhatikan dan dihargai sebagai individu yang sedang belajar. Siswa tentu akan merasa senang, dan kondisi ini akan sangat mendukung tumbuhnya kesadaran, keinginan, dan kemauan pada diri siswa untuk belajar. ’Membuat siswa mau belajar’, inilah tujuan utama kegiatan pembelajaran di sekolah. Sebab, ’kemauan belajar’ merupakan kondisi yang harus ada jika guru menginginkan siswa dapat menyerap dan menguasai materi pelajaran yang dipelajari.
Barangkali itu sebabnya almarhum J Drost (2005) lebih memilih istilah mengajar-belajar untuk pembelajaran di sekolah, bukan belajar-mengajar seperti yang selama ini populer. Di dalam istilah "mengajar belajar" tersirat adanya upaya guru untuk menjadikan orang lain (mau) belajar karena guru (sekolah) tidak bisa membuat siswa menjadi pandai, siswa sendirilah yang dapat membuat dirinya menjadi pandai.
Mengakhiri tulisan ini, saya teringat pada Totto-chan, Si Gadis Kecil di Tepi Jendela yang ditulis Tetsuko Kuroyanagi (1986). Buku ini merupakan pengalaman pribadi Tetsuko (yang dipanggil Totto) semasa belajar di "Sekolah Tomoe". Dikisahkan bagaimana senangnya Totto menjalani hari- hari belajarnya di sana karena sekolah itu sangat mengerti dan menghargai keinginan dan kebutuhan siswa-siswanya. Tanpa disadari, di sekolah itu Totto dan teman-temannya tidak hanya belajar rupa-rupa pelajaran (seperti bahasa, mengarang, ilmu hitung, fisika, menggambar), tetapi sekaligus belajar kebersamaan, tanggung jawab, toleransi, kasih sayang, keberanian, serta nilai-nilai lain yang sangat diperlukan dalam kehidupan.
Itulah buah dari pembelajaran partisipatif yang tentunya tidak akan diperoleh jika pembelajaran di sekolah tetap menerapkan model pembelajaran intimidatif. Barangkali ada baiknya para guru di negeri kita belajar kepada Pak Guru Kobayashi (tokoh guru dalam Totto-chan), yang begitu mencintai, mengerti, dan menghargai keinginan dan kebutuhan siswanya agar mereka dapat menikmati hari-hari belajar di sekolah dengan lebih ceria.

Thursday, 30 November 2006